Muharam dalam Al-Quran: Isyarat Kesucian dan Larangan Berbuat Kezaliman

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (Qs. At-Taubah/9: 36)

Alhamdulillah, hari ini, seluruh umat Muslim menutup akhir bulan hijriyah (Zulhijjah) dan menyambut bulan awal bulan hijrah (Muharram). Berbicara mengenai bulan Muharram atau tahun baru Islam, secara spesifik tidak disebutkan dalam Al-Quran. Kebanyakan di antara dalil tersebut merupakan ayat tentang bulan haram (suci). Salah satunya penegasan bahwa bulan hijriyah berjumlah 12 bulan dalam Qs. At-Taubah/9: 36 juga dalam Qs. Al-Maidah/5: 2 yang menerangkan larangan berbuat dosa pada bulan-bulan haram, termasuk Muharam.

Tidak adanya ayat tentang 1 Muharam yang spesifik ini berkaitan erat dengan sejarah penetapan kalender Islam. Penanggalan hijriah baru ditetapkan saat kekhalifahan Umar bin Khattab. Sebelum 1 Muharam diputuskan menjadi awal tahun Islam, pada 638 M (17 H), Abu Musa al-Asy’ari selaku Gubernur Basrah mengeluhkan kepada Umar, titimangsa dalam surat-suratnya hanya mencantumkan bulan tanpa tanggal dan tahun. Umar kemudian mengadakan musyawarah bersama Sahabat. Keputusannya menetapkan bahwa tahun pertama kalender Islam dihitung sejak Nabi Muhammad saw. hijrah, berangkat dari Makkah ke Madinah. Sementara itu, bulan pertama yang dipilih dalam kalender Islam ialah Muharam sesuai dengan kebiasaan waktu tersebut.

Jika kita telusuri kedua ayat yang telah disebutkan di atas, maka secara jelas terdapat perintah khusus yang Allah sampaikan terkait bulan haram (suci). Pesan penting itu di antaranya menjaga kehormatan dan larangan berbuat kezaliman. Dalam Qs. At-Taubah/9: 36 misalnya, Ayat ini menetapkan bahwa Allah menjadikan empat bulan dalam setahun sebagai bulan-bulan haram.

Bilangan dua belas dalam setahun dan empat di antaranya adalah bulan-bulan haram sebagaimana yang telah tertulis di atas, menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Al-Mishbah adalah bilangan berdasar sistem yang ditetapkan dan menjadi syariat agama Allah. Melalui pernyataan ini, Al-Quran membatalkan anutan orang-orang Yahudi yang menjadikan perayaan keagamaan mereka berdasar perhitungan Syamsiyah. Dalam Islam, hari raya keagamaan hanya dua kali, yaitu Hari Raya Idul Adha yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzul Hijjah dan Hari Raya Idul Fitri setelah usai puasa Ramadhan yang jatuh pada 1 Syawwal.

Allah menjadikan empat bulan dalam setahun sebagai bulan-bulan haram. Kehormatan dan keagungan yang disandang oleh waktu dan tempat pada dasarnya serupa dengan kehormatan dan keagungan yang disandang manusia. Kalau manusia menyandang kehormatan karena banyaknya kebaikan yang lahir darinya, seperti keimanan yang tulus dan budi pekerti yang luhur, tempat dan waktu juga mendapat keagungan dan kehormatan karena di tempat atau waktunya itu dapat lahir kebaikan yang banyak serta ganjaran yang melimpah.

Perhitungan bulan-bulan Qamariyah dalam masyarakat Arab yang kemudian ditetapkan pula oleh ajaran Islam dimulai dengan selesainya bulan Haji. Karena itu, bulan pertama adalah Muharram, yakni bulan yang menyusul selesainya ibadah haji.

Hampir seluruh masyarakat Arab sebelum Islam mengakui dan meng-agungkan empat bulan dalam setahun. Sedemikian besar pengagungan mereka sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayah, anak, atau saudaranya pada salah satu dari empat bulan itu, ia tidak akan mencederai musuhnya kecuali setelah berlalu bulan haram itu. Tiga bulan di antara keempat bulan haram itu mereka sepakati, yaitu Dzul Qa‘idah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Adapun yang keempat, yakni Rajab, ini dianut keharamannya oleh mayoritas suku-suku masyarakat Arab sedang suku Rabi‘ah menganggap bulan haram yang keempat adalah Ramadhan. Islam melalui Rasul saw. menegaskan keempat bulan haram sesuai dengan anutan mayoritas masyarakat Arab itu, walaupun dalam saat yang sama mengakui bahwa bulan Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, bahkan salah satu malam Ramadhan nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Perhitungan bulan menurut kalender Qamariyah, yakni perhitungan waktu menurut peredaran planet bulan. Memang, bilangan bulan berdasar perhitungan kalender Syamsiyah pun jumlahnya juga dua belas bulan, tetapi karena ayat ini berbicara juga tentang bulan-bulan haram, sedang ini hanya berkaitan dengan pergantian peredaran planet bulan, tentunya yang dimaksud di sini tidak lain kecuali berdasar perhitungan Qamariyah itu. Apalagi perhitungan Qamariyah-lah yang dikenal luas di kalangan masyarakat Arab bahkan perhitungan ini dikenal sebelum perhitungan berdasar peredaran matahari.

Jumlah hari selama setahun dalam perhitungan Qamariyah sebanyak 355 (tiga ratus lima puluh lima) hari, sedang dalam perhitungan Syamsiyah sebanyak 365,25 (tiga ratus enam puluh lima hari dan seperempat hari). Karena itu, setiap tahun terdapat selisih sekitar sepuluh hari antara perhitungan Qamariyah dan Syamsiyah. Ini menjadikan ibadah haji dan puasa, misalnya, tidak selalu terjadi pada bulan Syamsiyah/penanggalan masehi yang sama. Setiap tiga tahun, puasa dan haji berbeda bulan Syamsiyah-nya walaupun dalam bulan Qamariyah haji selalu di bulan Dzul Hijjah dan puasa selalu di bulan Ramadhan. Selisih itu menjadikan pelaksanaan haji dan puasa tidak selalu pada musim panas atau musim dingin tetapi berganti-ganti sehingga kaum muslimin dapat mengalami aneka musim dan, dengan demikian, tercapai pula keadilan bagi semua penduduk di semua daerah.

Lantas, apakah maksud dari al-haram atau muharram itu sendiri? Kata (harâm) menurut Muhammad Quraish Shihab pada mulanya berarti terhormat. Sesuatu yang dihormati biasanya lahir sebagai penghormatan terhadap aneka larangan yang berkenaan dengannya. Dari pengertian tersebut, kata harâm diartikan dengan “larangan”. Bulan Haram adalah bulan yang harus dihormati. Karena itu, terdapat sekian banyak hal yang terlarang dilakukan pada bulan-bulan tersebut. Tanah Harâm pun demikian.

Secara jelas Qs. Al-Maidah/5: 2, menguraikan lebih lanjut mengenai tanah haram dan kewajiban untuk menjaga diri dari kezaliman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan Haram, jangan (mengganggu) al-hadya dan al-qalâ’id, dan jangan mengganggu para pengunjung Baitullâh sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhan mereka.

Tanah Harâm yang dimaksud di atas, lanjut Muhammad Quraish Shihab adalah Makkah dan sekitarnya. Di sana, dilarang memburu binatang dan mencabut pepohonannya. Nabi Ibrâhîm as. telah menggariskan dan meletakkan tanda-tanda batasnya. Sebelum Rasul saw. berhijrah ke Madinah, orang-orang musyrik Makkah mulai menghilangkan tanda-tanda itu, walau kemudian mereka meletakkannya kembali.

Pada tahun keberhasilan Rasul saw. memasuki kembali kota Makkah (Fath al-Makkah), beliau mengutus beberapa orang untuk memperbaharui tanda-tanda batas itu. Dan, pada masa pemerintahan ‘Umar Ibn al-Khaththâb, beliau kembali memerintahkan empat orang untuk memperjelasnya sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Nabi saw. Tanah Haram dimulai dari Ka‘bah ke Madinah sekitar empat mil sampai desa Tan‘îm (Tan‘îm sendiri bukan Tanah Haram). Dari Ka‘bah menuju ke arah Irak sepanjang delapan mil sampai ke suatu tempat yang dinamai al-Maqtha‘. Kemudian, dari Ka‘bah menuju arah Thâ’if sepanjang sembilan mil berakhir dengan satu tempat yang dinamai Ju‘rânah. Sementara yang ke arah Yaman sepanjang tujuh mil dan berakhir pada satu tempat yang dinamai Adhâtlibn, dan dari jalan menuju Jeddah sepuluh mil dan berakhir sampai dengan Hudaibiyah. (Hudaibiyah termasuk Tanah Haram).

Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan bahwa larangan menganiaya atau melakukan dosa pada keempat bulan itu bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Yang dimaksud adalah penekanan khusus pada keempat bulan itu karena ia merupakan bulan-bulan ibadah lagi agung di sisi Allah Swt. Karena itu pula maka beribadah pada masa-masa tersebut berdampak positif dan mengundang banyak pahala, demikian pula sebaliknya berdosa mengakibatkan murka yang besar. Larangan menganiaya dan berdosa itu tentu termasuk di dalamnya menganiaya pihak lain. Bahwa ayat ini menggunakan kata anfusakum untuk mengisyaratkan kesatuan kemanusiaan, yakni menganiaya orang lain sama dengan dengan menganiaya diri sendiri.

Semoga pergantian tahun baru Islam ini mampu menjadi momentum muhasabah an-nafs untuk memperkuat kesalehan diri dan sosial; bersama-sama menolak segala bentuk kezaliman dan senantiasa berpihak kepada mereka yang dilemahkan, termasuk saudara-saudara kita di Palestina yang hidup dalam penindasan. Demikian, Allahu ta’ala a’lam.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini